Kafka on the Shore
Baru aja selesai baca Dunia Kafka (Kafka on the
Shore). Ini adalah karya Haruki Murakami pertama yang saya baca. Sebenernya
agak ragu buat milih ini sebagai bacaan pertama, karena belum familier sama
penulisnya. Denger-denger Haruki Murakami adalah penulis cerita-cerita surealis
yang sulit, dan baiknya kita mulai baca dengan urutan tertentu untuk memudahkan
pemahaman. Tapi karena kebetulan aja liat di aplikasi iPusnas dan gaada buku
yang lain, yaudah deh saya pinjem dan baca.
Ceritanya berpusat pada dua tokoh dengan alur
terpisah; Tamura Kafka, remaja yang kabur dari rumah untuk lari dari kutukan
Ayahnya. Satunya lagi Nakata Satoru, pria yang mentalnya sedikit terganggu
karena kecelakaan di masa kecil (bukan gila ya, lebih tepatnya jadi agak “kurang
pandai”), tapi punya berbagai kemampuan aneh seperti bicara dengan kucing,
menurunkan hujan ikan, dan sebagainya. Keduanya punya kehidupan yang berbeda
dan seperti nggak ada hubungannya, tapi somehow ada benang-benang aneh yang
menghubungkan mereka di dunia metafisik dan kisah mereka berdua akan saling
terkait.
Alur ceritanya surealis dan agak absurd, tapi menarik. Ceritanya berpindah-pindah antara dunia nyata dengan dunia tidak nyata, masa kini dan masa lalu tanpa ada batasan jelas. Di sini, logika jadi bengkok dan segala khayalan bisa jadi nyata—entah itu arbitrer atau perwujudan simbol tertentu, yang jelas, jangan terlalu mikir pake logika kalo mau baca buku ini, karena isi buku ini semuanya metafora. Bebaskan aja imajinasi seliar-liarnya.
Dari buku ini, saya simpulkan Pak Murakami punya gaya menulis yang sengaja bikin pembaca berpikir. Di sepanjang cerita banyak bertebaran teka-teki, kiasan, makna-makna
tersembunyi, tapi jawabannya ga pernah diungkap secara gamblang sampe akhir
cerita. Penulis justru sengaja memancing rasa penasaran dan memberi kebebasan
biar pembaca bisa memaknai sesuai pemahaman masing-masing. Memungkinkan multi-interpretasi
antara pembaca satu dengan yang lain. Ibarat kotak yang cuma setengah terbuka,
selalu ada ruang untuk menerka-nerka, ada apa di balik bagian yang tertutup? Apa
maksud keseluruhan di balik semua ini?
Dan karena ini adalah kali pertama saya baca karya Haruki Murakami, jujur masih tersisa banyak tanda tanya. Tapi ada satu yang mau kugarisbawahi; sensasi membaca buku ini luar biasa. I feel like this book resonates with myself. Ada banyak bagian dalam buku ini yang seakan-akan mewakili perasaan saya yang selama ini ga terungkapkan dalam kata-kata. Selama membaca, saya ngerasa kayak lagi menyelami alam pikiran seseorang, mendengar pengajarannya tentang kehidupan, teleportasi ke dunia yang jauh, terperangkap dalam kegelapan, nemu pencerahan, dan di beberapa titik harus berhenti untuk sekadar tarik napas karena ada bagian-bagian tertentu yang meninggalkan kesan mendalam sampe bikin speechless dan lupa napas. Nah, I’m not exaggerating.
Satu-satunya yang saya pribadi kurang suka adalah deskripsi yang kadang
terlalu detil dan terlalu banyak referensi yang sebenernya ga terlalu
berpengaruh sama jalan cerita. Terlalu banyak bumbu, pembaca kadang jadi
terdistraksi sama keterangan-keterangan yang ga perlu. Tapi itu cuma minor
inconvenience aja sih. Lepas dari itu, saya suka semuanya.
Sebagai pembaca yang memperhatikan karakterisasi,
tentunya saya punya karakter favorit, dan dia adalah Oshima. Profesinya sebagai petugas
perpustakaan menampilkan dia sebagai pemuda yang ramah dan sopan, tapi sejatinya dia itu tipe outsider karena sadar betul dirinya aneh.
Keanehan itu terletak pada gendernya; dia adalah seorang transgender. Secara biologis perempuan, tapi secara watak keseluruhan laki-laki. Dia bagaikan dualitas dalam satu tubuh. Tapi lantaran terbiasa menjadi sosok unik di tengah dunia yang serba normal,
terbiasa dengan segala jenis diskriminasi, dia jadi punya cara pandang yang
lebih fleksibel terhadap kehidupan. Inilah kenapa dia mau menerima seorang
pelarian seperti Kafka dengan tangan terbuka.
Di samping segala keunikannya, saya kagum sama kekayaan pikirannya. Ibarat buah, mayoritas orang cuma akan melihat sebatas kulit atau daging luar. Tapi Oshima bisa ngeliat sampe ke lapisan terdalam, sampe ke biji-bijinya, atau malah sampe ke sel-sel yang menyusun buah tersebut, jauh menembus batas yang ga tersentuh oleh orang lain. Dengan cara pandang seperti itu, Oshima bagaikan pijakan kokoh bagi remaja labil seperti Kafka. Dia membantu Kafka melihat lebih jauh daripada yang kelihatan. Pola pikirnya tidak konvensional, wawasannya pun luar biasa luas. Kalo bicara, dia akan menggunakan metafora sambil mengaitkan filosofi atau mitologi kuno dengan kenyataan saat ini. Setiap kali Oshima mengungkapkan gagasan-gagasan menariknya, saya selalu berhenti sebentar untuk merenungi, dan kata-katanya selalu membuka tingkap-tingkap dalam kepala saya. Banyak hal saya pelajari dari dia, terutama dalam hal cara pandang.
Kamu tau, ketika baca buku, kita ga akan menyukai seseorang karena tampilan fisiknya. Karena kita membaca, bukan menonton. Kita akan suka sama cara dia berpikir, cara dia bicara, cara dia bertindak dan mengambil keputusan. Dan kayaknya saya udah jatuh cinta sama sosok Oshima di buku ini. Dia terkesan kayak sosok sahabat yang sempurna, seseorang yang bisa membantumu memandang kehidupan dari kacamata yang tepat. Saya ga tau wujudnya seperti apa. But he's the most attractive fictional character I could ever visualize in my head, seriously. Vibenya itu tenang dan welcoming banget. Saya pengen ngabisin waktu berhari-hari cuma mau dengerin dia ngomong. Bodo amat mau dia cwk atau cwk, pokoknya suka sama Oshima XD Dan jatuh cinta sama karakter fiksi adalah jalan ninjaku.
Pemaknaan bergantung sama pembaca. Meski porsi
Saeki dan kenangannya lebih besar, saya lebih nangkep sesuatu tentang “penerimaan
takdir”, yaitu kutukan Oedipus, yang sebenernya udah dijabarkan secara gamblang
di bab pertama. Di awal baca, kita mungkin bingung kata-kata yang dibold itu
maksudnya apa. Tapi kalo kita udah nyelesaiin buku ini, kita akan kembali ke
halaman-halaman awal dan baru sadar apa makna dari kata-kata itu.
Bahwasanya takdir itu ibarat badai pasir yang
mengikuti ke mana pun kita pergi. Mau lari ke mana pun, badai itu akan
senantiasa mengikuti. Kenapa? Karena badai itu sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari diri kita. Maka yang bisa kita lakukan cuma
melangkah ke dalam badai tersebut, melindungi diri sebisa mungkin dengan
menutup mata dan menyumpal telinga dari terjangan pasir. Nikmati setiap
prosesnya, rengkuh setiap kenyataan, sepahit apa pun itu. Kalau badai itu udah
reda, kita tidak akan ingat bagaimana kita melaluinya, bagaimana ceritanya kita bisa
bertahan, bahkan kita tidak yakin apakah badai itu udah bener-bener reda. Tapi satu
hal yang pasti, ketika kamu melangkah keluar dari badai, kamu tidak akan menjadi
orang yang sama dengan ketika kamu memasuki badai tersebut.
Itulah pemaknaan takdir di dalam buku ini. Bahwa sejauh apa pun Kafka melarikan diri, ujung-ujungnya dia engga bisa mengingkari takdir yang udah digariskan untuknya. Bukan tentang seberapa bejat, tapi tentang bagaimana menerima dan berdamai dengan takdir tersebut. Kafka, meski sempet bergumul hebat awalnya, tapi akhirnya dia berhasil. Sekali bersikap legawa, menjalani apa pun yang udah digariskan, melepas semua yang harus pergi, bebannya pun hilang dan dia bisa pulang.
Overall saya suka sama buku ini. It was beautiful. Terlalu indah sampe saya ga bisa move on selama berhari-hari. Kalo
punya kesempatan, saya akan dengan senang hati baca untuk kali kedua, ketiga,
dan seterusnya. Barangkali segala teka-teki bisa terjawab, makna-makna tersembunyi bisa saya temukan, karena kemarin bacanya ngebut dikejar target waktu pengembalian (buku
600 halaman ini selesai dalam waktu 3 hari dan mata ini langsung cenat-cenut). Atau
mungkin mau baca novel Haruki Murakami yang lain karena kayaknya “cocok”. Meski
suka, tapi ga bisa bilang recommended juga sih karena buku ini bukan untuk semua orang,
apalagi dengan segala keabsurdan, hal-hal tabu, topik-topik dark, dan adegan
vulgarnya. Just read at your own risk XD