Kronik Burung Pegas
Jadi setelah kemarin baca Kafka on the Shore, saya tertarik buat baca novel Haruki Murakami yang lain. Kebetulan nemu buku Kronik Burung Pegas (The Wind Up Bird Chronicle) di toko buku deket rumah dan kebetulan juga lagi diskon. Buku ini terdiri dari tiga bagian dan totalnya ada 925 halaman, jadi bisa dibayangin tebelnya kek apa. Bisa langsung buat bantal kalo sewaktu-waktu kita ngantuk bacanya XD
Oke, jadi setelah selesai baca buku ini, saya mulai mengenali pola cerita Haruki Murakami. Ada banyak unsur kesamaan antara Kronik Burung Pegas dengan Dunia Kafka; dunia metafisik, alternate self (?), gerbang ke dunia lain, dan berbagai metafora lainnya. Tapi dibanding Dunia Kafka yang penuh teka-teki dan bikin pembaca bingung setengah mampus, Kronik Burung Pegas menurut saya jauh lebih simple dan lebih mudah dimengerti. Walaupun ga bisa dibilang simple juga sih untuk ukuran novel secara umum.
Alih-alih menilai bukunya kayak di postingan kemarin, saya cuma mau mengingat kembali apa yang udah saya baca sambil berusaha menginterpretasi sesuai pemahaman saya. Tapi sebelumnya, mau ngingetin aja kalo interpretasi orang bisa beda-beda, jadi yang mau saya tulis di sini belum tentu semuanya bener atau sesuai sama apa yang pengen disampein penulis. Dan mungkin akan sedikit-banyak membandingkan antara buku ini dengan Dunia Kafka sebagai patokan.
Tokoh utama dalam buku ini adalah Toru Okada
dan Kumiko Okada, sepasang suami istri yang kehidupan rumah tangganya
terkesan adem-adem aja, tapi sebenernya ada “sesuatu” yang gelap, merayap
perlahan-lahan dan menghancurkan kehidupan mereka. Rangkaian peristiwa dimulai
dari hilangnya Noboru Wataya, kucing peliharaan mereka. Kucing ini adalah
simbolisasi dari ikatan pernikahan mereka—karena mereka ga punya anak, jadi
mereka merawat kucing ini sebagai tanda persatuan. Dan hilangnya kucing ini melambangkan
bahwa ada sesuatu yang mengganggu ikatan pernikahan mereka.
Malta Kano dan Kreta Kano itu semacam alter-self (?) dari Kumiko dan
kakaknya. Meski mereka adalah orang-orang yang berbeda, tapi kayak yang bisa
kita jumpai di Dunia Kafka, orang-orang yang keliatannya tidak berhubungan pun
bisa terhubung di suatu dunia yang lain; entah itu punya kemiripan dalam jiwa
mereka atau dalam rangkaian takdir yang harus mereka hadapi. Saya ga tau gimana
ngomongnya. Tapi mereka itu kayak “perwujudan diri yang lain”, makanya saya sebut alternate-self.
Kreta Kano bagaikan versi muda dari Kumiko. Mereka
sama-sama punya hubungan yang aneh dengan keluarga mereka dan hanya punya satu
orang yang bisa dipercaya, yaitu kakak perempuan mereka. Bedanya, kakak Kumiko
meninggal sehingga Kumiko harus melanjutkan kehidupan seorang diri, kehilangan
pegangan, terombang-ambing. Mungkin inilah yang bikin Kumiko engga bisa
sepenuhnya pulih dan tertahan di suatu dunia yang gelap. Tidak seperti halnya
Kreta yang punya Malta sebagai tempat bersandar. Selain itu, Kumiko dan Kreta
punya satu lagi kesamaan; ada satu bagian dalam diri mereka yang “dirusak” oleh
Noboru Wataya. Satu lagi, detail kecil kayak fashion style Kreta yang ala-ala
tahun 60-an mengesankan bahwa dia adalah manusia yang datang dari masa lalu,
seakan-akan dia adalah wujud muda Kumiko yang melintasi waktu dan datang ke
kehidupan Toru.
Sedangkan Letnan Mamiya bagaikan perwujudan
diri Toru yang lain, dengan Boris sebagai perwujudan dari Noboru
Wataya. Baik Toru maupun Letnan Mamiya harus sama-sama menghadapi seseorang
yang punya kekuasaan dan status tinggi di masyarakat, dan sama-sama berakhir di
dasar sumur yang gelap. Bedanya, Letnan Mamiya udah kehilangan separuh nyawanya
di sumur tersebut, sehingga dia melanjutkan kehidupan dengan jiwa yang udah
engga penuh lagi; separuh mati (dia mengingatkan saya sama Nona Saeki). Dengan pengalaman
traumatisnya di dasar sumur, Letnan Mamiya—melalui perantara Pak
Honda—mendatangi Toru dan “menuntunnya” supaya Toru ngga mengalami hal yang
sama dengannya.
Mei Kasahara adalah tokoh yang cukup menarik. Kadang saya ngerasa peran Mei Kasahara mirip sama peran Oshima di Dunia Kafka. Semacam
peran pendukung. Mereka satu-satunya tokoh yang ngga berhubungan langsung sama konflik
utama, tapi secara konstan muncul terus di sepanjang cerita. Mereka juga
sama-sama suka berteori tentang ini dan itu. Tapi dibanding Oshima yang cerdas
dan masuk akal (dan emang usianya lebih mateng), Mei Kasahara terkesan lebih
“liar” dengan pemikiran-pemikirannya yang tidak biasa. Dari perihal kematian
sampai perihal kebotakan, pendapatnya selalu menarik untuk disimak.
Nutmeg dan Cinnamon Akasaka adalah tokoh yang muncul di pertengahan
menjelang akhir dan menjadi kunci membaiknya kehidupan Toru. Nutmeg deketin
Toru karena Toru punya kesamaan dengan Ayahnya; sama-sama punya tompel, dan
sama-sama bisa denger suara burung pegas. Berkat kekuatan supranatural dari
Nutmeg, Toru menemui titik terang dalam kehidupannya. Sedangkan Cinnamon akan
menyingkap banyak misteri di bagian akhir cerita melalui sistem komputer dan
tulisan-tulisannya.
Oh iya, sampe lupa sama antagonisnya sendiri, Noboru
Wataya. Noboru Wataya ini punya semacam kegelapan yang pekat dalam dirinya.
Dia digambarkan sebagai seseorang yang cerdas tapi… ngga punya integritas? Saya ga yakin
gimana nyebut sifatnya, tapi dia ini licik dan cuma peduli sama keuntungan
pribadi. Asalkan bisa menarik simpati orang lain atau menjatuhkan lawannya, dia
ga akan peduli sama kebenaran atau konsistensi dari kata-kata yang dia ucapkan.
Sama si A ngomong B, sama si C ngomong D, bodo amat, yang penting dia diuntungkan.
Selain tokoh-tokoh tersebut, saya baru nyadar kalo
kejadian-kejadian yang terkesan abstrak dan surealis dalam tulisan Murakami
ternyata semuanya metafora. Misalnya.
Dasar sumur, seperti yang udah saya bilang tadi, adalah gerbang
menuju dunia metafisik. Sumur adalah sumber kehidupan, dan ketika sumur itu
kering, maka ada sesuatu yang salah—sesuatu yang menghambat arus kehidupan
kita. Mungkin sumur itulah penyebab rentetan kisah tragis yang melanda keluarga
Miyawaki, dan menyebabkan rumah tersebut terkenal sebagai rumah sumber petaka.
Tapi gimana pun juga, dasar sumur kering tersebut menjadi akses bagi Toru untuk
pergi ke dunia metafisik dan memperbaiki sesuatu yang salah, menyingkirkan
penghalang yang selama ini menghambat arus kehidupannya. Dan begitu berhasil,
sumur tersebut langsung teraliri air dan hidup kembali.
Tompel yang muncul di wajah Toru begitu dia keluar dari sumur untuk kali pertama,
adalah suatu pertanda bahwa Toru udah mulai memasuki arena pertandingannya.
Hotel itu adalah tempat di mana Noboru Wataya menyekap Kumiko, dan sekali masuk
ke tempat itu, mau ga mau Toru harus melawan entitas kegelapan tersebut dan
menyelamatkan istrinya. Tapi itu semua butuh waktu dan proses yang engga
gampang. Hadirnya Nutmeg menjadi titik terang bagi kehidupan Toru. Ketika dia
“dipas” sama Nutmeg, warna tompelnya berubah menjadi terang, dan itu menjadi pertanda
bahwa kehidupan Toru mulai berjalan ke arah yang lebih baik. Kucingnya kembali,
dan Toru langsung mendapat kesempatan untuk berkomunikasi dengan istrinya yang
entah di mana. Perlahan-lahan, seiring dengan usaha Toru untuk menyelamatkan
Kumiko, tompel itu warnanya semakin terang dan semakin terang. Dan seperti yang
udah kita ketahui, begitu Toru mengalahkan kegelapan yang selama ini mengekang
Kumiko, tompel di wajahnya pun menghilang seutuhnya.
Hilangnya suara Cinnamon, ditandai dengan peristiwa dua orang misterius yang memanjat pohon dan mengubur jantung di halaman rumahnya. Sebenernya saya masih bingung sama yang satu ini. Tapi sepemahaman saya, orang pertama (yang memanjat pohon) itu ada hubungannya sama cerita Nutmeg. Nutmeg pernah bilang kalo dia suka banget bercerita ke Cinnamon, dan karena punya rasa ingin tahu yang tinggi, Cinnamon suka menelisik cerita di dalam cerita Nutmeg sedetil-detilnya hingga diibaratkan seperti cabang-cabang pohon. Nah, ketika ada orang memanjat pohon dan engga kembali lagi, menurut saya itu kayak perwujudan Cinnamon yang tenggelam dalam pohon cerita Ibunya. Dia mendengar terlalu banyak hal, realita kehidupan yang mungkin engga seharusnya diketahui oleh anak umur 6 tahun, dan karenanya dia tersesat di sana dan ga bisa kembali lagi.
Terus orang kedua (yang mengubur jantung) adalah
penjelasan lebih lanjut tentang cerita-cerita itu. Cinnamon waktu itu masih
kecil, masih pure, tapi dia udah ngeliat realita dunia yang sesungguhnya. Jantung
yang dikubur melambangkan kondisi dunia saat ini; di mana orang-orang mulai
kehilangan hati, kehilangan rasa peduli, dan hanya mengejar kepentingan
pribadi. Suara yang hilang melambangkan perubahan; ketika kamu ngeliat realita
yang ga sesuai sama apa yang selama ini kamu percayai sungguh-sungguh,
kepercayaanmu akan rusak, dan dirimu ga akan sama lagi. Dan sejak saat itu,
Cinnamon seperti menutup diri. Dia cuma mau berhubungan dengan Ibunya,
Neneknya, dan orang-orang yang dipercayai oleh Ibunya (termasuk Toru).
Dan terakhir, sekaligus yang jadi esensi judul
buku ini, suara burung pegas. Suara burung pegas ini digambarkan sebagai
bel tanda malapetaka datang. Mereka-mereka yang bisa denger suara burung ini,
konon akan mengalami serentetan musibah yang ga bisa dihindari. Bagaikan burung
pegas—burung mainan yang bisa jalan setelah pegasnya diputer—burung itu ga bisa
bergerak sesuai kehendaknya dan cuma bisa mengikuti mekanisme mesin, berjalan ke
arah yang tidak dia inginkan, dan engga bisa menghindari kalau sewaktu-waktu
dia jatuh dari tepian meja.
Yah, mungkin itu interpretasi saya terhadap metafora yang terkandung dalam buku ini. Kalo boleh ngomong secara subjektif, sebenernya saya agak berharap bisa ngerasain sensasi yang sama dengan ketika saya baca Dunia Kafka—atau lebih hebat, karena mayoritas orang bilang buku Kronik Burung Pegas ini adalah karya terbaik Haruki Murakami. Tapi ternyata engga bisa. Entah kenapa, meski banyak unsur yang sama, tapi pengalaman membaca kedua buku ini terasa beda banget. Kalo secara logis, menurut saya cerita Kronik Burung Pegas ini emang lebih bagus dari Dunia Kafka. Tapi kalo bicara soal personal, saya masih lebih suka Dunia Kafka untuk suatu alasan yang ga bisa dijelaskan dengan kata-kata ><
Mungkin karena Kronik Burung Pegas ini temanya
tentang kehidupan rumah tangga kali yaa, jadinya saya sama sekali ga paham
perasaan Toru XD Kurang dapet feelnya. Lebih gampang relate ke Kafka yang masih
remaja atau Nakata yang hidup sendiri.
Tapi meski sejauh ini saya udah suka sama buku Haruki
Murakami, masih ada satu hal yang ngeganjel. Gaya penulisan Pak Murakami
menurutku terlalu berbelit-belit, terlalu banyak menyebutkan detil-detil yang
kurang penting. Kalo aja mau to the point, mungkin buku ini ga akan nyampe 925
halaman. Bahkan mungkin cuma separuhnya. Serius deh. Dan terus terang, saya sempet hampir ketiduran waktu baca masa lalu Letnan Mamiya dan si dokter hewan
yang berkaitan erat sama sejarah. Rasanya panjaaaaaang banget. Apalagi sejarah
adalah salah satu mata pelajaran yang engga saya suka, jadi baca bagian itu
bener-bener butuh perjuangan XD
Oke, jadi overall saya cukup suka sama buku ini, meski bukan favorit saya. Tapi panjangnya yang amit-amit bikin saya mikir dua kali untuk baca buku ini lagi suatu saat nanti.