Animal Farm

Baru aja selesai baca buku Animal Farm, salah satu novel klasik fenomenal karya George Orwell. Habis baca dalam sekali duduk karena emang engga seberapa panjang. Novel ini berisi tentang alegori politik dengan tokoh binatang.

Dua kata yang ada di pikiran saya begitu selesai baca buku ini;

“DASAR BABI.”

… Engga, saya engga mengumpat. Itu cuma bentuk kekesalan saya terhadap tokoh babi dalam buku ini. Biar jelas, saya ceritain aja dari awal.

Jadi, ceritanya mengambil latar di sebuah peternakan besar di Inggris. Suatu hari, seekor babi tua bernama Major mencetuskan sebuah ide revolusioner untuk memerdekakan diri dari manusia. Temen-temennya pun tergerak hatinya. Mereka semua udah muak disuruh kerja seumur hidup, dieksploitasi oleh manusia, dan ketika udah ga berguna lagi, mereka akan disembelih dengan kejam. Singkat cerita, mereka semua bersatu untuk memberontak, melawan si pemilik peternakan. Pemberontakan itu berhasil. Pemilik peternakan kabur ketakutan. Binatang-binatang merdeka. Mereka mendirikan sebuah pemerintahan sendiri, bebas dari eksploitasi, hidup berdampingan dengan setara dan adil, jauh dari campur tangan manusia.

Terdengar menjanjikan, bukan?

Tapi justru dari sinilah konflik dimulai. Babi-babi—yang dianggap punya otak paling encer—mengambil posisi paling depan. Ada dua babi unggulan yang jadi pemimpin mereka, yaitu Snowball dan Napoleon. Awalnya, mereka bertindak sebagai pemimpin yang baik. Tapi lama-lama, mereka semakin sering bertengkar dan memperebutkan kekuasaan. Akhirnya, Napoleon berhasil mengusir Snowball dengan cara yang licik. Sejak saat itu, Napoleon jadi pemimpin tunggal. Dan sejak saat itu pula, pemerintahan yang awalnya adil dan makmur, semakin lama semakin berubah ke arah yang lebih buruk, semakin buruk dan semakin buruk, sampe akhirnya kembali lagi ke titik awal sebelum terjadinya revolusi.

Ya, binatang-binatang kembali dieksploitasi, disuruh kerja sampe mati, tanpa diberi cukup makan. Bukan oleh manusia, tapi oleh babi-babi yang semakin lama kelakuannya malah semakin mirip manusia.  Semua peraturan yang dibuat di awal, dilanggar sendiri. Babi-babi itu gila kekuasaan, mengeksploitasi temen-temennya sendiri dan menjual hasilnya ke manusia, membunuh, menipu, memanipulasi seolah-olah mereka panutan yang paling bener. Bahkan di akhir cerita, mereka makan sampe kenyang, berpesta, main kartu, dan mabuk-mabukan, sementara binatang lain menderita di luar sana.

Garis besar ceritanya seperti itu. Sepanjang membaca, saya dibikin mangkel setengah mampus sama kelakuan para babi. Tapi mengingat cerita ini adalah alegori politik, saya jadi miris mengingat kejadian serupa banyak terjadi di dunia nyata. Saya pernah baca kalo tokoh-tokoh dalam buku ini mewakili tokoh-tokoh politik di dunia nyata. Tapi berhubung saya ngga paham tentang sejarah dan politik—sejarah Indonesia aja macet, apalagi sejarah dunia—saya ngga begitu ngerti siapa-siapa aja tokoh yang dimaksud. Tapi terlepas dari itu, cerita dalam buku ini sebenernya bisa berlaku di mana pun. Perebutan kekuasaan, pemimpin yang cuma peduli sama keuntungannya sendiri, rakyat yang dibodohi, semuanya adalah realita pahit yang sering kita jumpai sehari-hari.

Yang paling menggiriskan dari cerita ini adalah, binatang-binatang selain babi tuh semuanya bodoh. Mereka ngga sadar dimanipulasi dan ditipu mentah-mentah sama si babi. Mungkin ada beberapa yang sadar, tapi mereka ngga punya argumen atau tenaga yang cukup kuat untuk melawan para babi yang liciknya setengah mati.

Terlepas dari perasaan kesal, saya suka cara Orwell menggunakan binatang untuk mengkritik tingkah laku manusia dalam dunia politik. Menggunakan embel-embel revolusi, tapi ujung-ujungnya kembali lagi ke titik yang sama.