Man's Search for Meaning

Buku ini menceritakan tentang pengalaman penulisnya bertahan hidup sebagai tawanan di kamp konsentrasi pada masa perang dunia kedua. Dari sudut pandang seseorang yang hidup sangat dekat dengan kematian, kita diajarkan untuk tetap bisa menemukan makna hidup meski dalam penderitaan.

Point utama dari keseluruhan buku ini adalah, kalau kamu udah ngga mampu mengubah situasi sulit yang kamu hadapi, kamu ditantang untuk mengubah dirimu sendiri. Dalam hidup ini, seringkali kita diperhadapkan pada suatu masalah/kesulitan yang ngga bisa dihindari. Tapi Viktor E. Frankl menegaskan bahwa dalam situasi paling sulit sekalipun, di mana kita seolah udah ngga punya apa-apa lagi, ada satu hal yang ngga bisa dirampas dari kita; yaitu kebebasan dalam memilih sikap. Kehidupan bisa aja membawa kita ke titik terendah, tapi ngga ada yang bisa ngelarang kita untuk tetap optimis berharap. Kehidupan bisa aja bikin kita menderita, tapi kita masih bisa memilih; mau tetap berani, bermartabat, dan menjalani penderitaan dengan sikap yang layak; atau menyerah dipermainkan keadaan. Kita selalu punya kebebasan spiritual untuk menentukan sikap, seburuk apa pun kondisinya.

Sebelum dibahas lebih jauh, ada satu yang perlu ditekankan; makna hidup emang bisa ditemukan dalam penderitaan, tapi bukan berarti kita harus menderita untuk menemukan makna hidup. Menurut buku ini, ada tiga cara untuk menemukan makna hidup. Pertama, melalui pencapaian (pekerjaan, kesuksesan, prestasi, hasil karya, dsb). Kedua, melalui pengalaman (mencintai atau dicintai seseorang, menghargai keindahan alam atau seni). Dan ketiga, baru deh melalui penderitaan. Dengan catatan, penderitaan itu adalah penderitaan yang ngga bisa dihindari. Penderitaan yang ngga perlu sama aja dengan menyakiti diri sendiri.

Di paruh pertama, Frankl menggambarkan dengan jelas betapa sengsara hidup sebagai tawanan. Saya sampe miris bacanya, ngeri, ngga tega. Terbayang betapa memprihatinkan kondisi para tawanan; kelaparan karena jarang dikasih makan, kecapean karena dipaksa kerja sepanjang hari bahkan dalam cuaca ekstrim, dipukulin, diserang berbagai penyakit, kedinginan, kelelahan, kurang gizi, ngeliat rekan seperjuangan mereka satu persatu gugur, satu persatu dibunuh, atau malah dibunuh secara massal, istilahnya kayak tinggal menunggu nasib aja. Selain itu, kondisi mental para tawanan juga dijabarkan dengan jelas—bagaimana kehidupan kamp bikin seseorang jadi rendah diri dan apatis; emosinya mati, udah ngga bisa merasakan apa pun lagi meski ngeliat temennya tewas di depan mata. Betapa mengerikan.

Bener-bener mujizat sih kalo Frankl bisa keluar dari kamp itu hidup-hidup. Di sini diceritakan kalo penulisnya beberapa kali hampir kehilangan nyawa, tapi berhasil selamat oleh suatu kebetulan yang ajaib di detik-detik terakhir. Tapi di luar kejadian-kejadian itu, yang bikin penulisnya bisa bertahan selama di kamp adalah karena dia menyikapinya dengan baik, misalnya dengan mengingat orang-orang yang dia kasihi, atau memikirkan tujuan yang ingin dia raih setelah keluar dari kamp, atau bersyukur atas hal-hal kecil seperti jatah makanan tambahan, yang secara tidak langsung memberi kekuatan untuk terus bertahan meski kemungkinan hidup itu kecil. Sebaliknya, ngga sedikit juga tawanan di kamp yang “menyerah”. Mereka putus asa, kehilangan harapan dan kepercayaan terhadap masa depannya sendiri, merasa hidupnya udah berakhir, yang pelan-pelan menuntun mereka pada kehancuran mental, dan menjadi lebih rentan terkena penyakit karena imunitas tubuhnya melemah, dan akhirnya meninggal. Ya, kondisi mental emang berpengaruh banyak pada kondisi fisik seseorang. Dan di buku ini dijelaskan dengan sangat clear, betapa mudah seseorang meninggal karena udah putus asa—bukan karena sakit.

Seperti kata-katanya Friedrich Nietzsche, “He who has a why to live for can bear with almost any how.” Seseorang bisa menahan penderitaan seberat apa pun, selama dia masih punya alasan untuk terus bertahan. Itulah kunci untuk bertahan dalam penderitaan; suatu tujuan, suatu makna, sesuatu yang ingin diraih, suatu alasan untuk tetap melanjutkan hidup. Mungkin itu orang-orang terkasih yang menunggu di rumah, mungkin itu pekerjaan yang kamu dambakan, mungkin itu karya yang pengen kamu selesaikan. Ketika kamu punya alasan itu (why), kamu pasti bisa menanggung seberapa berat proses yang harus dijalani (how).

Kalo paruh pertama menceritakan kehidupan di kamp konsentrasi, paruh kedua fokus sama penjelasan teoritik tentang logoterapi. Dan jujur, saya bacanya butuh mencerna berkali-kali karena bahasanya tergolong berat buat orang yang ga punya latar belakang psikologi seperti saya. Tapi masih bisa dipahami kok, karena ini adalah pembahasan lanjutan dari paruh pertama.

Terus “makna hidup” itu sebenernya apa sih… Dari mulai baca saya selalu bertanya-tanya, dan Frankl menjawabnya dengan jelas. Makna hidup itu sifatnya unik, berbeda-beda pada setiap orang, sehingga ngga bisa digeneralisasikan. Makna hidup saya tentu berbeda dari makna hidup kamu. Seorang dokter misalnya, menemukan makna hidup setelah dia menyelamatkan nyawa orang lain. Seorang seniman menemukan makna hidup setelah karya-karyanya menginspirasi banyak orang. Seorang Ibu atau Ayah menemukan makna dalam perjuangannya mengantar anak-anaknya pada kesuksesan. Dan makna hidup masing-masing orang ini juga bisa berbeda-beda setiap waktunya, tergantung situasi apa yang sedang kamu hadapi. Dan tugas kita adalah menemukan makna hidup tersebut.

Menurut saya, ngga berlebihan sih kalo ada yang bilang buku ini adalah salah satu buku terbaik sepanjang zaman. Karena buku ini emang sangat inspiratif. Saya dapet banyak pemahaman baru tentang kehidupan. Definitely worth reading!!