The Long Walk: Jalan Kaki Sampai Mati
Satu kata setelah selesai baca buku ini: ngilu, guys.
Ngilu.
Baca buku ini lebih mirip siksaan, tapi somehow saya ngga bisa berhenti bacanya, dan malah bisa menamatkannya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.
Perhatian: tulisan ini mengandung spoiler.
Jadi, premisnya cukup simple; tentang seratus orang remaja laki-laki yang mengikuti kompetisi berjalan. Ya, cuma berjalan. Tapi ngga boleh berhenti, atau kamu akan mendapat tiket. Awalnya saya ngga paham apa artinya mendapat tiket, sampai seseorang ditembak kepalanya. Yup, betul, kalau kamu berhenti, kamu akan ditembak mati. Jadi harus terus berjalan, berjalan, dari siang sampai malam, lalu ketemu pagi, berjalan sampai sepatumu aus dan kakimu bengkak dan bernanah dan berdarah, kehujanan, kepanasan, berjalan sampai tubuh hancur dan pikiran menjadi sinting, berjalan sampai mati. Kompetisi ini baru akan berakhir kalau 99 orang sudah gugur dan menyisakan satu orang pemenang.
Lah, kalau kemungkinan menangnya cuma satu banding
sembilan puluh sembilan, kenapa masih banyak orang dengan sukarela menyerahkan
nyawanya?
Semua punya alasan masing-masing. Bisa jadi karena
iming-iming hadiah, bisa jadi karena harga diri, optimisme yang naif, bisa jadi
karena… memang ingin mati.
“Alasan yang sama kenapa kita semua melakukannya. Kita ingin mati, karena itulah kita melakukannya. Untuk apa lagi, Garraty? Untuk apa lagi?” (halaman 204).
Semakin saya membaca, semakin jauh pikiran saya dibawa kabur bersama pikiran para peserta yang perlahan-lahan menjadi gila. Berjalan kaki berhari-hari tanpa istirahat barang lima menit, siapa yang tidak menjadi gila? Tapi saya suka diajak berfilosofi dengan pikiran yang setengah gila. Dijejali rentetan pemikiran tanpa tujuan. Semuanya terasa surealis, ingatan demi ingatan saling tumpang tindih, halusinasi bercampur kenyataan. Sensasi baca buku ini kayak diajak menyelami pikiran seseorang yang sedang high. Which is nice. Nuansa psikologisnya terasa banget.
Tapi kayak yang saya bilang tadi, baca buku ini lebih mirip siksaan. Bikin ginjal saya dua-duanya nyeri, ngilu. Coba aja bayangin jalan kaki lima hari nonstop. Apa pun alasannya, kaki kram, kecapean, kesandung, mau buang hajat, bisul pecah, pusing, pendarahan, cacingan, kalau kamu berhenti atau sekadar melambat, kepalamu akan dilubangi.
Dua hal yang membuat saya betah baca buku ini; pertama,
saya memang suka tema survival, apalagi dengan setting yang tidak terlalu
kompleks. Kedua, saya telanjur suka sama para karakternya, jadi saya
penasaran kepingin mengetahui nasib mereka selanjutnya.
Alasan ketiga, saya maso, kayaknya. Hahahaha.
Karakter utamanya Raymond Garraty, biasa dipanggil Ray. Orang yang naif, agak keras kepala, dan sangean, tapi berhasil bertahan sampai di akhir, meski terseok-seok. Karakter lain juga cukup memorable. Hank Olson, misalnya, yang keliatan tangguh dan agak arogan di awal, tapi dengan cepat mengkerut seperti kerupuk kehujanan. Atau Scramm, yang istrinya sedang hamil di rumah. Juga Gary Barkovitch, si bangsat cilik yang ingin menari di atas kuburan teman-temannya.
Karakter favorit saya Peter McVries. Ya, Pete yang sarkastik, tapi kehadirannya terasa sangat comforting. Kalau bukan karena dia, Ray pasti udah mati dari kemarin-kemarin. Makanya saya ngga rela waktu dia gugur :") Tapi, Pete emang udah berencana untuk bunuh diri sejak awal. Dengan dia menyerah dan duduk di tengah jalan, kayaknya itu metafora untuk seorang McVries yang patah hati dan cape sama hidupnya.
Saya juga suka sama Art Baker. Di antara para pejalan, dialah yang terkesan paling kalem dan tulus. Dia juga yang paling lama sanggup mempertahankan pikiran warasnya ketika yang lain mulai menggila. Saat-saat terakhirnya sukses bikin saya mewek jelek. Kayaknya di antara semua kematian, cuma Baker yang suasananya dibikin sedih. Dia bahkan sempet ngasih pesan terakhir buat Ray :")
Dan Stebbins! Dia bikin saya penasaran setengah mampus. Sejak awal, dia
digambarkan misterius. Kurus ceking, dikira lemah, ternyata kuat. Selalu jalan paling belakang, pembawaannya tenang
dan ngga banyak bicara. Sengaja menyendiri supaya ngga perlu terlibat dalam
hubungan emosional yang seringkali melemahkan. Dia menghadapi semuanya dengan
rencana. Sikap dan perkataannya selalu penuh teka-teki. Tapi demi Tuhan, Stebbins, siapa kamu?!
Di pertengahan cerita, saya sempat iseng mikir, kayaknya
seru ya kalau ternyata salah satu peserta adalah orang dalam. Anaknya Mayor,
misalnya.
*tarik napas*
DAN TERNYATA STEBBINS ADALAH ANAKNYA MAYOR,
GUYS!!!
Well, anak haram sih. Mayor punya lusinan anak
haram di sana-sini. Entah dia tahu Stebbins anaknya atau engga. Stebbins
berencana membeberkan semuanya kalau dia menang. Tapi, Stebbins yang sejak awal
yakin dirinya akan menang, lama-lama menyadari bahwa dirinya pun manusia biasa,
darah dan daging, bukan robot. Dia bisa gila, dia bisa roboh, dia bisa mati. Ada
perasaan simpati yang hampir melankolis melihat orang yang terkesan ngga
terkalahkan, akhirnya jatuh juga. Apalagi menyimak metaforanya tentang si
kelinci, aduh saya sedih :”)
“Dia menjadikan aku kelincinya. Kelinci kecil abu-abu untuk membuat anjing-anjing lain berlari lebih cepat… dan lebih jauh. Dan kurasa siasatnya berhasil…
“Kelinci itu ternyata darah dan daging. Aku berjalan. Aku berbicara. Dan kurasa kalau semua ini tidak segera berakhir, aku akan merangkak-rangkak dengan perutku, seperti reptil.” (halaman 416)
Sempat berharap happy ending. Peserta yang tersisa
mengumpulkan kekuatan dan mengalahkan para tentara, barangkali, atau terjadi
keajaiban, apalah itu. Tapi rupanya itu pemikiran yang bodoh. Setelah nyawa
demi nyawa dilibas habis, apa lagi yang bisa diharapkan?
Akhirnya, saya cuma bisa berandai-andai tentang alternate universe yang manis, sebuah dunia yang lain, di mana para peserta bertemu dalam kesempatan yang lebih baik, menjadi teman akrab, bersenang-senang tanpa memikirkan kaki yang membengkak dan bunyi letusan senapan. Oh, Ray, Pete, Art, Stebbins, mari bertemu di lain dunia :")
Oke, ini bukan review yang layak. Saya cuma ngoceh seadanya. Pikiran saya masih di awang-awang kebawa high-nya buku ini.
Buku ini recommended buat orang-orang yang suka bacaan dark dan ngga keberatan dengan alur lambat dan mindless philosophy-ing. Dan tidak disarankan baca buku ini sambil makan. Anda berisiko muntah. Atau setidak-tidaknya kehilangan nafsu makan.