Laut Bercerita

Butuh waktu empat tahun lebih buat nuntasin buku ini :"

Saya beli buku ini tahun 2019. Dua kali berusaha baca, dua kali terhenti sebelum mencapai halaman 100 karena kehilangan minat. Sampe akhirnya kemarin kehabisan bacaan, jadi mau saya selesaiin aja bukunya.

Ide ceritanya sebenernya menarik sih. Bahas insiden tahun 98? Lets goooo. Di benak saya langsung bermunculan berbagai ekspektasi, antara lain penjelasan kondisi Indonesia pada masa itu (ga perlu detail asal kita ngerti garis besarnya), pemikiran kritis anak-anak muda, gelora pemberontakan, perjuangan melawan otoritas, kerusuhan, baku hantam, saya mengharapkan jiwa saya tergerak untuk ikut merasakan apa yang mereka rasakan saat itu. Apalagi prolognya keren banget kan. Kalau prolognya udah bagus pasti bab-bab selanjutnya lebih bagus dong.

Tapi sayangnya, ekspektasi tidak sesuai kenyataan.

Ehm, gimana ya... Mungkin ekspektasi saya yang terlalu tinggi karena ngeliat banyaknya review positif. Tapi buku ini, kalau menurut saya, terlalu fokus sama detail-detail informasi, tapi tidak berhasil bikin saya terlibat secara emosi. Kalau orang bilang, nulis fiksi itu show, jangan tell. Tapi buku ini malah sebaliknya. Rasanya kayak disuapi informasi. Banyak disebut peristiwa ini dan itu, lengkap dengan tanggal dan tempat kejadian, jadi saya malah berasa kek baca berita dibanding fiksi.

Disebut-sebut para tokohnya juga sering ngadain diskusi, kegiatan masyarakat, pergi ke sana kemari, tapi saya ngga nemu esensinya apa. Kegiatan tanam jagung atau apalah namanya itu, porsinya lumayan gede. Dan meski mereka gagal, saya berharap mereka ngasih impact positif ke masyarakat, entah sekecil apa pun itu, jadi at least ada gunanya gitu mereka repot-repot keluar kota. Tapi malah kabur gitu aja dan berujung pada adegan seks yang rasanya kek maksa banget nyempil di situ. Maksud saya, mana ada sih orang waras yang habis dihajar sampe bonyok-bonyok patah tulang tapi malah sange? :(

Banyak banget karakter bermunculan, teman-teman Laut, orang tua dan saudaranya temen-temen Laut, bahkan ibu-ibu pemilik warung atau mas-mas fotokopian pun turut disebut namanya. Agak bikin terdistraksi sih. Saya butuh waktu buat mencerna nama baru dan apa peran mereka di cerita. Taunya cuma disebut sekali doang.

Laut sebagai karakter utama, tidak terasa istimewa. Mungkin ya karena itu tadi, penggambaran karakternya lebih ke arah tell, bukan show. Kayak misalnya Laut itu digambarkan sejak kecil suka baca buku-buku berat. Mestinya itu keliatan dari pemikiran, kata-kata, atau perilakunya. Tapi alih-alih begitu, Laut cuma sibuk menyebutkan koleksi buku-bukunya, plus caranya menata buku-buku itu di rak (penting banget ya?), tanpa memperlihatkan apa pengaruh buku-buku itu dalam membentuk dirinya yang sekarang. Di sepanjang cerita, Laut ngga pernah kelihatan membagikan pemikirannya, tindak tanduknya pun tidak terlalu mencerminkan pribadi yang kritis dan cerdas. Malah di mata saya, Laut terkesan kayak anak penyendiri yang aneh, emosional, dan impulsif. Makanya saya bingung kok dia bisa-bisanya diangkat jadi sekjen.

Karakter lain kayak temen-temen Laut pun rasanya tidak punya cukup kedalaman untuk bisa bikin saya ngerasain ikatan emosional dengan mereka. Persahabatan mereka tidak terasa “sedekat itu” untuk bikin saya simpati ketika mereka disiksa. Gusti si pengkhianat juga tidak terasa “sebangsat itu” untuk bikin saya geram.

Kalau ada karakter yang bikin saya terkesan, mungkin itu Kinan dan Asmara Jati. Kinan punya potensi gede, tapi sayang ngga terlalu banyak disorot. Lebih banyak spotlight mengarah pada Anjani, yang menurut saya, masih kurang kuat dibanding Kinan. Asmara Jati, saya respect sama dia karena dia kuat dan mampu berpikir rasional di saat semua orang dilumpuhkan perasaan.

Dan saya ngerasa lucu sendiri karena tertarik sama Naratama. Entah kenapa, semakin Laut menggiring pembacanya untuk membenci Naratama, justru bikin saya makin tertarik sama dia. Saya yakin, Naratama cuma disalahpahami aja. Lagian ngga mungkin dong pengkhianat diekspos sejelas itu di bagian awal cerita. Pada akhirnya, meski ngga pernah mencurigai Naratama, saya tetep kasian sama dia. Dia sadar dirinya dibenci banyak orang, tapi tetap mempertahankan kesetiaannya.

Di awal-awal alurnya lambaaaat banget karena semua latar belakang ditumpuk di sana, yang mana terkesan kayak info-dump dan bikin saya ngedrop buku ini dua kali saking ngantuknya. Survey rumah bersama teman-teman Laut, nyeritain satu-satu latar belakang keluarga teman-temen Laut (di saat kita bahkan belum peduli-peduli amat sama mereka), flashback ke momen kali pertama ketemu Kinan, ketemu si penyair, di dalam flashback pun ada flashback lagi, dan yang paling bikin saya menghela napas panjang adalah deskripsi tentang makanan. Buat apa sih? :((

Tapi meski paruh pertama slow banget, paruh kedua malah terkesan terburu-buru. Sayang banget, padahal itu adalah momen seru-serunya, ketika kita akhirnya beranjak dari info-dump berlarut-larut. Bahkan waktu sudut pandang Laut berakhir, saya kayak, hah udah? Gitu doang? Kurang panjangggg.

Sedangkan part Asmara Jati, di sini udah lebih digali secara emosi, which is nice, dan uniknya, saya ngerasa lebih mengenal teman-teman Laut lewat sudut pandang Asmara Jati. Dan ada satu part yang menurut saya menyentuh hati, yaitu ketika pertahanan Asmara Jati akhirnya runtuh di depan ibu-ibu di negeri asing. Tapi di luar itu, di beberapa bagian terasa agak dragged sih. Kayak, seharusnya ceritanya udah selesai, tapi dipanjang-panjangin lagi. Barangkali buku ini pengen lebih banyak mengeksplor ke perasaan kehilangan, tapi buat saya jatuhnya agak berlarut-larut.

Intinya... saya ngga nangkep hype-nya buku ini. Kayak yang orang-orang bilang bahwa buku ini sedih banget, bikin nangis, Mas Laut ini dan Mas Laut itu, tapi sayangnya kurang dapet di saya. Well, mungkin buku ini punya sisi positif yang luput dari perhatian saya. Mau bagaimana pun juga, ini opini subjektif. Mungkin buku ini bukan buat saya aja :"